Sabtu, 02 Juli 2011

SISTEM PEMILU PERLU DIBUAT LEBIH SEDERHANA


Sejak tahun 1955 hingga 2009,Indonesia telah menggelar 10kali pemilihan umum (pemilu).Seluruhnya menerapkan sistemproporsional: delapan kali pro-porsional tertutup, dua kali pro-porsional terbuka.
Buku “Pemilu Indonesia dalam Angkadan Fakta Tahun 1955-1999” yang diterbit      -kan Komisi Pemilihan Umum (KPU), me  -nyebutkan ada 178 tanda gambar peserta pesta demokrasi tahun 1955. Terdiri ataspartai politik, organisasi, organisasi, dan calon perseorangan.
Jumlah pemilih saat itu 43,1 juta orang. Namun, suara sahnya luar biasa. Untuk  pemilihan anggota DPR, 37,78 juta orang, atau 87,66 persen, sedangkan untuk pemili-han anggota Konstituante 37,84 juta orang atau 87,78 persen.
Bandingkan dengan Pemilu 2009. Jumlah pemilihnya 171,26 juta, dan yang menggunakan hak pilihnya (voters turn out) adalah 121,59 juta. Tapi, yang benar-benar menjadi suara sah hanya 104 juta. Jumlah ini 60,78 persen dibanding total jumlah pemilih terdaftar. Ada 17,5 juta suara tidak sah!
Dan, setelah penerapan ambang batas parlemen (parliamentary threshold) 2,5 persen, aka jumlah suara sah yang terkonversi menjadi kursi hanya 85 juta. Jumlah ini hanya 69,9 persen dari pemilih terdaftar.
Tapi, bagaimana mungkin persentase suara sah pada Pemilu 2009 lebih rendah dibanding pemilih pada Pemilu 1955? Pada  hal, angka buta huruf pada tahun 1955 masih di atas 50 persen, sedangkan pada 2009 tinggal lima persen?
Ada banyak faktor yang bisa menjelaskan semua ini. Tapi, pangkal dari semua soal ini adalah sistem pemilu. Sistem pemilu proporsional terbuka di Indonesia, merupakan salah satu sistem pemilu yang palingrumit di dunia.
Secara sederhana, sistem pemilu adalah teknik mengonversi suara menjadi kursi. Karena itu, sistem pemilu berkaitan dengan soal alokasi kursi untuk setiap daerah pemilihan, teknik pemilihan, cara penghitungan suara partai, bagaimana menentu kan calon terpilih, ambang batas parlemen, hingga format surat suara.
Tingginya persentase suara yang terkonversi menjadi kursi, pada Pemilu 1955 lalu, salah satunya, karena penerapan sistem proporsional tertutup. Yaitu, pemilih hanya mencoblos tanda gambar peserta pemilu. Meskipun saat itu ada 178 tanda gambar peserta pemilu, masyarakat tak terlalu bingung, karena hanya memilih satu tanda gambar kemudian mencoblosnya.
Penentukan kursinya juga lebih simpel, yaitu hanya dua tahap. Pertama, kursi dibagi di daerah pemilihan, sesuai bilangan pembagi pemilih (kiesquotient) di daerah tersebut. Saat itu ada 16 daerah pemilihan. Kedua, sisa suara dari seluruh daerah pemilihan dan kursi yang belum terbagi, dikumpulkan ke tingkat nasional. Setelah ditetapkan kiesquotient baru, selanjutnya seluruh suara dan kursi itu dibagi habis di tingkat nasional.
Proses yang hampir sama diterapkan pada Pemilu 1971-1999. Bahkan, lebih sederhana, karena jumlah peserta pemilunya tak ba      nyak. Pemilu 1971 hanya diikuti 10 peserta pemilu, sedangkan Pemilu 1977-1999, ha  nya diikuti tiga peserta pemilu. Tapi, seiring reformasi, ada aspirasi kuat untuk memilih langsung wakil rakyat, untuk mencegah oligarki pimpinan partai yang dituding salah satu biang KKN.

Proporsional terbuka
Maka, pada Pemilu 2004, mulailah diterap  kan sistem baru. Yaitu, sistem proporsional terbuka, yang memadukan sistem proporsional dengan sedikit elemen sistem mayoritas/pluralitas (atau di Indonesia kerap disebut sistem distrik). Saat itu, selain
memilih tanda gambar partai, pemilih juga berhak memilih langsung calon anggota legislatif (caleg).
Praktik ini berlangsung pada Pemilu 2009, dengan hanya sedikit perubahan. Antara lain, jika pada Pemilu 2004 memilih nama calon saja dianggap tidak sah, maka pada Pemilu 2009, memilih nama calon saja —tanpa tanda gambar partai— sudah dianggap sah.
Salah satu kerumitan yang paling nyata dari sistem proporsional terbuka ini, adalah pada format suara suara. Setiap partai berhak mengajukan 120 persen caleg disbanding kursi yang diperebutkan. Jika pada Pemilu 2009 lalu ada 38 partai peserta pemilu, dan kursi yang diperebutkan di sebuah daerah pemilihan adalah 10, maka surat suara bisa berisi 38 tanda gambar partai dan 456 nama caleg. Dan, simsalabim, surat suaranya sebesar dua lembaran koran!
Dan, itu baru surat suara untuk memilih anggota DPR. Masih ada tiga surat suara
lagi, yaitu untuk memilih anggota DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota, dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Bayangkan dalam waktu hanya lima menit di bilik suara yang sempit, seorang pemilih harus memilih di antara 1.500 nama dan tanda gambar partai. Di Aceh lebih rumit lagi, karena di sana partai lokal pun masuk dalam surat suara.
Kerumitan juga terjadi dalam penghitung  an perolehan kursi untuk partai. Ada empat tahap penghitungan. Sebelum penghitungan dimulai, suara partai secara nasional dihitung terlebih dahulu, kemudian yang tak melampaui ambang batas parlemen 2,5 persen, di-exclude.
Setelah itu, masuklah penghitungan tahap pertama, yang dilakukan di masing-masing daerah pemilihan. Partai yang meraih 100 persen bilangan pembagi pemi  lih (BPP) —yang angkanya didapat dengan membagi jumlah suara sah, dengan jumlah kursi yang dialokasikan untuk daerah pe  milihan tersebut— langsung mendapat kursi.
Bila masih ada sisa kursi, selanjutnya, masuk penghitungan tahap kedua: kursi diberikan kepada partai yang memperoleh 50 persen BPP. Jika masih kursi yang belum terbagi, masuk pada penghitungan tahap ketiga, yaitu mengumpulkan semua sisa suara di tingkat provinsi, kemudian ditetap kan BPP baru —yang angkanya didapat dengan membagi semua sisa suara yang diakumulasikan di provinsi dengan jumlah kursi yang belum terbagi. Bila kursi belum juga habis, masuk tahap keempat, yaitu dengan membagikan kursi kepada partai yang memperoleh sisa suara terbanyak.
Tapi, jalan panjang dan berliku itu belum selesai. Caleg siapa yang harus mendapatkan diberi kursi dari daftar partai yang meraih kursi, masih harus melalui proses bertingkat-tingkat. Mula-mula, diberikan kepada calon yang meraih 30 persen BPP, dan seterusnya.
Sistem ini begitu rumit. Banyak menimbulkan pertentangan antarsesama caleg, antara partai dengan KPU —yang tak seluruhnya benar-benar fasih mengartikulasikan resep-resep penghitungan itu— dan lain-lain. Tak heran, bila jumlah sengketa pemilu pada 2009 lalu, mencapai 700 kasus.
Maksud menghadirkan akuntabilitas melalui pemilihan orang, juga tak benar-benar bisa terjadi. Tak banyak masyarakat yang benar-benar mengetahui siapa wakil dari daerah pemilihannya. Republika sempat menanyai sejumlah orang tentang siapa wakil rakyat dari daerah pemilihannya, dan sebagian besar menggeleng tak tahu. Ada 77 daerah pemilihan DPR pada Pemilu 2009. Eksperimen sistem proporsional terbuka pun dipertanyakan.
“Beginilah kalau sistemnya tambal sulam,” kata Direktur Eksekutif Center for Electoral Reform (Cetro), Hadar Gumay. Sistem proporsional tertutup yang dipraktikkan sejak Pemilu 1955, jauh lebih mudah dibanding sistem proporsional terbuka. Tentu saja, tak mungkin menengok ke belakang dan kembali kepada sistem proporsional tertutup, yang sudah dikategorikan sebagai old fashion alias jadul itu.
Tapi, tidak mungkin pula mempertahankan sistem proporsional terbuka, dengan segala kerumitannya. ■ (Harun Husein)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar